Ketika Cinta Tak Mesti Bersama (Sebuah untaian indah kisah cinta manusia teragung)
![]() |
Ketika dua hati saling bertaut Sumber : google.com |
Namanya
Fakhitah, atau lebih dikenal sebagai Ummu Hani’ putri Abu Thalib, Paman Nabi
SAW. Dia pernah dilamar seorang laki-laki mulia yang sangat mencintainya, tetap
Abu Thalib lebih memilih laki-laki lain yang bernama Hubairah.
Lelaki
mulia yang ditolak lamarannya itupun menemui Abu Thalib dan mengungkapkan perih
isi hatinya, “Wahai Paman, engkau
nikahkan dia dengan Hubairah, dan kau tolak aku?’.
Abu
Thalib memberi alasan, “kami ini dua
keluarga besar yang sudah lama berbesan. Beginilah keluarga mulia membalas
keluarga mulia.”
Takdir
diatas segalanya, bahkan diatas kekuatan cinta yang katanya mampu menaklukkan
tingginya gunung dan ganasnya samudera. Fakhitah pun dinikahi Hubairah. Rumah tangga
mereka berjalan dengan sangat baik, hingga dianugrahi 4 orang anak; Ja’dah,
Amr, Yusuf, dan Hani’.
Ibnu
Sa’ad dalam Ath Thabaqat Al-Kubro menuturkan detail kisah cinta ini. Waktu terus
berjalan , dua insan yang pernah saling mencintai-Fakhitah dan laki-laki mulia
yang ditolak lamarannya itu masing-masing menjalani takdirnya. Terpisah 500 KM
hingga nyaris tak ada sua lagi. Namun, cinta memang luar biasa. Ia bersemayam
dalam hati, menunggu dan terus menunggu.
Hingga
pada tahun 8 Hijriyah, Ummu Hani’ masuk Islam. Namun, Suaminya malah kabur dan
tak mau masuk Islam. Mereka pun harus bercerai karena sudah berbeda akidah
antara memegang jalan Hak dan masih menjadi kafir.
Begitulah
sebuah kisah yang terus berulang. Takdir datang menggantikan takdir lainnya. Cinta
yang selama ini diam sejuta bahasa, kini bicara. Ia memaksa lisan menyadari
bahwa ia masih bertahan dan belum beranjak dari hati, walau telah puluhan tahun
lamanya.
![]() |
Pertemuan Cinta : google.com |
Ummu
Hani’ dipertemukan kembali dengan lelaki mulia itu. Cinta menemukan muaranya
dalam naungan hidayah, meski laki-laki mulia itu sudah tua. Rambutnya telah
beruban, bentuk tubuh dan raut wajahnya tak bisa menyembunyikan 60 tahun
usianya. Pun dengan Ummu Hani’. Namun, cinta bersemi kembali.
“Siapa?” tanya laki-laki mulia itu ketika
Ummu Hani’ datang saat waktu Duha.
“Aku
Ummu Hani’.”
“Selamat
Datang, Ummu Hani.”
“Aku
mau bertanya tentang kebenaran kalimat saudaraku yang akan membunuh 2 orang
yang telah meminta perlindungan kepada
ku,” Ummu Hani’ Bertanya setengah meminta.
“Kami melindungi siapapun yang engkau
lindungi
, wahai Ummu Hani’,
cinta mulai menyapa.
Dalam
pertemuan berikutnya lelaki mulia itu dengan jantan menyatakan cintanya, “Aku melamarmu!”
Dahsyat.
Cinta-melalui
lisan Ummu Hani’ berbicara, “ Demi Allah aku dulu mencintaimu saat aku masih
jahiliyyah, apalagi kini aku telah masuk Islam,” cinta mulai menuturkan gelora
yang tertahan.
Tak
berhenti sampai disitu, cinta ingin membuktikan ketulusannya, “Engkau lebih aku
cintai dari pendengaran dan penglihatanku.”
Dihadapan
laki-laki mulia itu ada segelas susu. Dia pun meminum sebagian, dan memberikan
sebagiannya kepada wanita yang dicintai dan mencintainya itu. Ummu Hani’ segera
meminumnya. Setelah itu, dia mengungkapkan , “sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
Lelaki
mulia itu bertanya, “Puasa Wajib?”
“bukan”,
jawab Ummu Hani’.
“Kalau begitu tidak masalah, tetapi apa yang
membuatmu melakukan ini?” lanjut laki-laki mulia itu.
‘karena
aku ingin meminum bekas mu.”
Setelah
dua cinta bertemu dalam naungan hidayah dan perjumpaan yang halal, apakah akan
melebur menjadi bahagia? Akankah mereka akan merangkainya menjadi untaian bunga
yang mengalungi sisa usia? Apakah ini masa cinta memanen hasil kesabarannya? Ternyata,
tidak.
Justru
karena cintalah yang menghalangi, karena tulus dan sucinya. Ia pun tak mau mengotori,
jiwa tak tega menodai. Cinta dalam Ummu Hani’ menjelaskan, “Aku telah mempunyai
banyak anak dan aku tidak mau mereka mengganggu mu.”
‘karena
hak suami adalah agung. Aku takut, jika aku sedang memberikan hak suami, aku
mengabaikan hak diri dan anak-anakku, dan jika aku sedang memberikan hak
anak-anakku, aku takut mengabaikan hak suamiku,” imbuhnya.
Laki-laki
mulia itu terdiam. Sunyi lisan hingga jiwanya. Sungguh kita telah belajar
banyak dari cinta suci Ummu hani’ dan
laki-laki mulia tersebut. Sebagaimana cinta tak perlu diundang untuk datang,
maka ia tidak bisa diusir untuk pergi.
Tahukah
sahabat siapakah laki-laki mulia yang bersemi cinta dalam dirinya itu? Beliau adalah
Rasul Kita Muhammad SAW. Ummu Hani’ pun berkata, “ Rasulullah melamarku, aku
meminta maaf kepada beliau dan beliaupun memahaminya.”
Kemudian
turunlah firman Allah, “Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu
istri-istrimu yang telah kau berikan mas kawinnya yang turut hijrah bersama
kamu.” (Q.S Al-Ahzab :50)
“Aku
tidak halal baginya karena aku bukan termasuk wanita yang hijrah bersamanya. Aku
termasuk orang-orang yang dibebaskan (di Fathul Mekah)
Cinta
begitu Tahu akan diri. Walau ia terus meminta dan menuntut, tetapi ia tidak
melebihi batasnya. Seperti cinta Ummu Hani’. Dialog cinta ini di akhiri dengan
pujian tulus Rasulullah kepada wanita istimewa yang dicintainya itu. Pujian yang
menambah kilau Ummu Hani’ “Sesungguhnya sebaik-baik wanita yang
mengendarai unta (maksudnya wanita arab) adalah wanita Quraisy, paling lembut
kepada anaknya diusia kecil dan yang paling menjaga yang dimiliki suaminya.”
Kisah
ini di kutip dari Majalah Hadila yang di tulis oleh : Ustad Budi Ashari, LC.
ini merupakan kisah yang sangat menyentuh hati
ReplyDeletecerıtanya sangat menyentuh
ReplyDelete