KETIKA MELODI MEMPUNYAI BAHASA
Musik Instrumental, Sebagai alat Penyembuhan Jiwa
Masyarakat Turki pra-Islam meyakini bahwa kosmos diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kata ”ku” / ”kok” (suara). Mereka meyakini bahwa awal terbentuknya kosmos berasal dari suara. Menurut kepercayaan Islam, seperti yang tertulis dalam Alquran, Allah SWT adalah Pencipta langit dan bumi. ”…Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’. Lalu jadilah ia.” (QS: al-baqarah:117). (Prof. NIl Sari)
Seni musik berkembang begitu pesat di era keemasan
Islam, tak hanya sekedar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris
seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi
(801–873 M) dan al-Farabi
(872–950 M) telah menjadikan musik
sebagai alat pengobatan atau terapi.
Kemudian timbul sebuah pertanyaan dibenak kita apa
yang disebut dengan terapi musik? Terapi musik merupakan sebuah proses interpersonal yang dilakukan seorang
terapis dengan menggunakan musik untuk membantu memulihkan kesehatan
pasiennya. Dan sejak kapan peradaban Islam mengembangkan terapi
musik? Dan benarkah musik bisa menjadi alat terapi untuk menyembuhkan
penyakit?
R. Saoud dalam tulisannya bertajuk The Arab Contribution to the Music of
the Western World menyebut al-Kindi sebagai psikolog Muslim
pertama yang mempraktikkan terapi musik. Menurut Saoud, pada abad ke-9 M,
al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik.
”Dengan terapi musik,
al-Kindi mencoba untuk menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic
atau lumpuh total,” papar Saoud. Terapi musik juga dikembangkan ilmuwan Muslim lainnya
yakni al-Farabi (872-950 M). Alpharabius – begitu
peradaban Barat biasa menyebutnya – menjelaskan tentang terapi musik dalam
risalah yang berjudul Meanings of
Intellect.
Amber Haque (2004) dalam tulisannya bertajuk Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim
Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists”, Journal of
Religion and Health mengungkapkan, dalam manuskripnya itu,
al-Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa.
Terapi musik berkembang semakin pesat di
dunia Islam pada era Kekhalifahan Turki Usmani berkuasa. Prof Nil Sari, sejarawan
kedokteran Islam dari Fakultas Kedokteran University Cerrah pasa Istanbul mengungkap perkembangan terapi
musik di masa kejayaan Turki Usmani. Menurut Prof Nil Sari, gagasan dan
pemikiran yang dicetuskan ilmuwan Muslim seperti al-Razi,
al-Farabi dan Ibnu Sina tentang
musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki
Usmani. ”Mereka antara lain; Gevrekzade
(wafat 1801), Suuri (wafat 1693), Ali Ufki (1610-1675), Kantemiroglu
(1673-1723) serta Hasim Bey (abad ke-19 M).
”Para ilmuwan Muslim di era
kejayaan Ottoman itu telah melakukan studi mengenai musik sebagai alat untuk
pengobatan,” papar
Prof Nil Sari. Menurut dia, para ilmuwan dari Turki Usmani itu sangat
tertarik untuk mengembangkan efek musik pada pikiran dan badan manusia.
Tak heran, jika Abbas
Vesim (wafat 1759/60) dan Gevrekzade telah
mengusulkan agar musik dimasukan dalam pendidikan kedokteran. Keduanya
berpendapat, seorang dokter yang baik harus melalui latihan musik. Usulan
Vesim dan Gevrekzade itu diterapkan di universitas-universitas hingga akhir
abad pertengahan. Sekolah kedokteran pada saat itu mengajarkan musik serta
aritmatika, geometri serta astronomi kepada para mahasiswanya.
Terapi
Musik dan Teorinya
Menurut Prof
Nil Sari, masyarakat Turki pra-Islam meyakini bahwa kosmos diciptakan
oleh Sang Pencipta dengan kata ”ku” / ”kok” (suara).
Mereka meyakini bahwa awal terbentuknya kosmos berasal dari suara. Menurut
kepercayaan Islam, seperti yang tertulis dalam Alquran, Allah SWT adalah
Pencipta langit dan bumi.
”…Dan bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya
mengatakan kepadanya: ‘Jadilah’. Lalu jadilah ia.” (QS: al-baqarah:117).
Setelah Islam
bersemi di Turki, masyarakat negeri itu, masih tetap meyakini kekuatan suara.
Inilah yang membuat peradaban Islam di era Turki Usmani menyakini bahwa musik
dapat menjadi sebuah alat terapi yang dapat menyeimbangkan antara badan,
pikiran dan emosi – sehingga terbentuk sebuah harmoni pada diri seseorang.
Prof Nil Sari mengungkapkan, para ahli terapi musik di
zaman Ottoman menyakini bahwa pasien yang menderita penyakit tertentu atau
emosi seseorang dengan temperamen tertentu dipengaruhi oleh ragam musik
tertentu. ”Para ahli musik di era Turki Usmani
menyatakan, makam (tipe melodi) tertentu memiliki kegunaan pengibatan tertentu
juga,”papar Prof Nil Sari.
Ada sekitar 80 ragam tipe melodi yang berkembang di
masyarakat Turki Usmani. Sebanyak 12 diantaranya bisa digunakan sebagai alat
terapi. Menurut Prof Nil Sari, dari teks-teks tua dapat disimpulkan
bawa jenis musik tertentu dapat mengobati penyakit tetentu atau perasaan
tertentu.
Pada era kejayaan Kesultanan Turki Usmani, terapi
musik biasanya digunakan untuk beberapa tujuan, seperti; pengobatan kesehatan
mental; perawatan penyakit organik, perbaikan harmoni seseorang yakni
menyeimbangkan kesehatan antara badan, pikiran dan emosi. Musik juga diyakini
mampu menyebabkan seseorang tertidur, sedih, bahagia dan bisa pula memacu
intelijensia.
Prof Nil Sari mengungkapkan, para ilmuwan di era Turki
Usmani meyakini bahwa musik memiliki kekuatan dalam proses alam,. Musik
dapat berfungsi meningkatkan mood dan emosi secara keseluruhan. Uniknya, para
ilmuwan di era Ottoman sudah mampu menetapkan jenis musik tertentu untuk
penyekit tertentu. Misalnya, jenis musik huseyni dapat
mengobati demam. Sedangkan, jenis musik zengule dan
irak untuk mengobati meningitis.
Masyarakat Barat baru mengenal terapi musik pada abad
ke-17 M. Adalah Robert Burton lewat
karya klasiknya berjudul The Anatomy of Melancholy yang
mengembangkan terapi musik di Barat. Menurut Burton, musik dan menari dapat
menyembuhkan sakit jiwa, khususnya melankolia.
Malah, masyarakat Amerika Serikat (AS) baru mengenal
terapi musik sekitar 1944. Pada saat itu, Michigan State University membuka
program sarjana teapi musik. Sejak 1998, di Amerika telah berdiri The
American Music Therapy Association (AMTA). Organisasi ini merupakan
gabungan dari National Association for Music Therapy (NAMT, berdiri
tahun 1950) dan the American Association for Music Therapy (AAMT, berdiri
1971).
Terapi musik merupakan salah satu kontribusi peradaban
Islam dalam dunia kesehatan dan kedokteran. Di era modern ini, musik tetap
menjadi salah satu alat untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Terapi musik
menjadi salah satu bukti pencapaian para ilmuwan Muslim di era keemasan.
Musisi Muslim Pencetus Terapi Musik
Al-Kindi
Al-Kindi atau al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang hidup di era kejayaan
Islam Baghdad. Saat itu, panji-panji kejayaan Islam dikerek oleh Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode
khalifah dilaluinya, yakni al-Amin
(809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim, al-Wasiq (842-847), dan Mutawakil
(847-861).
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai
ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu
gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti
Yunani.
Ketika Khalifah al-Ma’mun tutup usia dan digantikan
putranya, al-Mu’tasim, posisi al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan
peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham
yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.
Menurut al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan
ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di
antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan dalam risalah-risalah pendek
yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa
Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang,
seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis,
astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang paling
banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing
mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Al-Farabi
Second teacher alias mahaguru kedua. Begitulah Peter Adamson pengajar filsafat di King’s College London, Inggris,
menjuluki al-Farabi sebagai pemikir besar Muslim pada abad pertengahan.
Dedikasi dan pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya
didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.
Sosok dan pemikiran al-Farabi hingga kini tetap
menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil
mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam.
Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya
begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
”Ilmu Logika al-Farabi memiliki pengaruh yang besar
bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de Vaux. Tak heran, bila
para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu pengetahuan
yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga begitu kental
mempengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rush.
Al-Farabi atau masyarakat Barat mengenalnya
dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn
al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi,
Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya.
Tak ada pula sahabatnya yang mengabadikan latar
belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana Al-Juzjani mencatat jejak
perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina.Tak heran,
bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah Arab
pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa ayah Al-Farabi
berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi
berasal dari sebuah keluarga Persia.
(Sumber Republika)
0 Response to "KETIKA MELODI MEMPUNYAI BAHASA "
Post a Comment
Berkomentarlah yang baik dan Sopan